Adanasihat yang tidak asing lagi didengar bagi para pencari ilmu. Adab Sebelum Ilmu, Ilmu Sebelum Amal Ada tiga elemen kunci dalam nasihat tersebut: adab, ilmu, dan amal. Yang mana setiap elemen itu harus saling

Adab sebelum ilmuilmu sebelum amalSebuah ungkapan yang sering didengar. Tapi kadang sesuatu yang sering didengar malah sering terabaikan yang sering tercampur dengan kalimat “ah iya, udah tau. udah paham lah”Tapi para ulama’ terdahulu sangat menomorsatukan adab dalam hal menuntut ilmu. Yusuf bin Al Husain berkata, “Dengan mempelajari adab, maka engkau jadi mudah memahami ilmu.” Adab pun bisa menjadi penentu berkah atau tidaknya sebuah ilmu. Pernah suatu ketika, dalam sebuah kisah, seorang anak belajar pada seorang guru. Setibanya di rumah, orang tuanya mencaci guru anaknya tersebut. Kurang ini lah, kurang itu lah. Namun tanpa disadari dengan celaan dari orang tuanya tersebut, ilmu yang disampaikan oleh guru tadi tidak dapat dengan sempurna diterima oleh anaknya dikarenakan terhalang oleh celaan tersebut menggambarkan betapa pentingnya mengutamakan adab dalam konteks menuntut ilmu. Ilmu yang disampaikan dapat terhalang karena celaan orang tua, bukan oleh murid itu sendiri. Lalu bagaimana jadinya jika celaan tersebut datang langsung dari murid? Naudzubillah min bagaimana jika kita mendapati seorang dosen yang maaf kurang jelas dalam menyampaikan, sudah lanjut usia, dan lain-lain yang mudah membuat mulut berbicara yang tidak baik. Ternyata jika kita lihat ulama’ terdahulu ketika hendak menuntut ilmu, mereka memerhatikan siapa guru yang akan didatangi terlebih dahulu. Bagaimana amalan wajib dan sunnah kesehariannya, kebiasaan sehari-harinya, dan tentu adabnya. Jadi guru yang dipilih adalah yang paling sedikit bagaimana adab seorang penuntut ilmu sebaiknya? Maka yang patut menjadi teladan terbaik adalah Rasulullah saw. Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Pun kita hidup sampai mati adalah seorang penuntut ilmu. Menuntut ilmu bukan melulu tentang duduk di kelas, mendengarkan guru berbicara, dan orang merupakan guru dan murid bagi setiap orang yang lain. Dalam bersosial media pun kita juga sebagai penuntut ilmu. Maka, di permulaan kali ini saya memohon keberkahan dalam rangka menuntut ilmu, mohon ingatkan apabila berada di jalan yang jauh dari yang Allahu alam bish shawab.

AdabPenuntut Ilmu. Berikut ini beberapa adab penuntut ilmu yang perlu diperhatikan: 1. Jujur dan ikhlas. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang

🍂🌸🍂🌸🍂🌸🍂🌸🍂🌸🍂 Seberapa pentingkah makanan menutrisi tubuh? Sepenting itu pula makanan bagi jiwa dan juga pengetahuan mengasup fikroh manusia. Ketawazunan dalam aspek ruhiyah,fikriyah dan jasadiyah adalah hal penting bagi insan. Porsinya tidak lebih dan tidak kurang. Namun,perlu menjadi pertimbangan bagi kita, untuk mendahului mana yang harus didahulukan. Begitulah Allah jadikan setiap ibadah memiliki rukun. Ada keteraturan dan keseimbangan. Tidak saling asal,namun tepat porsi dan urutannya. Ummahat🌷 Setelah nutrisi iman kita suburkan maka langkah selanjutnya adalah memberi pelajaran adab agar ilmu dan amalnya sesuai dan diterima. Zaman Now,banyak orang pintar namun kehilangan orientasi cinta terhadap Khaliknya lantaran lupa adab,sehingga amal yang dilakukan tidak karuan dan nyeleneh dari aturan. Itulah mengapa Ulama terdahulu keberkahan ilmunya Allah pelihara hingga zaman ini karena seriusnya dalam permasalahan adab sebelum mereka menguasai ilmu. Dengan perhatian pada adab,maka ilmu yang diamalkan menjadi berkah dan tidak sia-sia. Dan dengan adab,maka kemudahan memahami ilmu menjadi niscaya. Imam Malik pernah berkata, “Dulu ibuku menyuruhku untuk duduk bermajelis dengan Robi’ah Ibnu Abi Abdirrahman -seorang fakih di kota Madinah di masanya-_ Ibuku berkata, *تعلم من أدبه قبل علمه* “Pelajarilah adab darinya sebelum mengambil ilmunya.” Mari sama-sama kita tundukkan hati dan ikhlas berdoa😇 اللَّهُمَّ اهْدِنِى لأَحْسَنِ الأَخْلاَقِ لاَ يَهْدِى لأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ وَاصْرِفْ عَنِّى سَيِّئَهَا لاَ يَصْرِفُ عَنِّى سَيِّئَهَا إِلاَّ أَنْتَ “Allahummahdinii li ahsanil akhlaaqi laa yahdi li-ahsanihaa illa anta, washrif anni sayyi-ahaa, laa yashrif anni sayyi-ahaa illa anta” “Ya Allah, tunjukilah padaku akhlak yang baik, tidak ada yang dapat menunjukinya kecuali Engkau. Dan palingkanlah kejelekan akhlak dariku, tidak ada yang memalingkannya kecuali Engkau” HR. Muslim no. 771, dari Ali bin Abi Tholib 🌸🌸~~~~~~~~~~~~~~~🌸🌸 Assalamu’alaykum Ummahat Shaliha Pendidik Generasi Emas Peradaban🌷 Iman➡adab➡ilmu➡amal Yuk laksanakan
IslamicWorld Games Iman Sebelum Adab Sebelum Ilmu Sebelum Amal di Tokopedia ∙ Promo Pengguna Baru ∙ Cicilan 0% ∙ Kurir Instan.
Semalam saya berdiskusi dengan suami mengenai progres hafalan Faris yang belum nambah-nambah. Mungkin dia bosan dengan metode pembelajaran saya, atau memang saya yang kurang mumpuni mendampinginya belajar. Entahlah, berkecamuk banyak pertanyaan di benak saya kenapa begini kenapa begitu. Saya terlalu menuntutnya mungkin, menggegasnya lebih awal tanpa memperdulikan hal-hal kecil yang sesungguhnya justru itulah yang bisa dia hadiahkan kepada saya saat ini. Seperti bersegera wudhu dan sholat jika sudah terdengar adzan, lebih aware saat bersuci setelah kencing, tidak berbicara saat di dalam kamar mandi, dan beberapa adab baik lainnya yang sudah ia laksanakan. Tetapi saya justru menuntut kekurangannya. Apanya yang salah? Pagi tadi saya lihat rekaman Ustadz Nuzul Dzikri Lc yang judulnya “Ayah Bunda Tolong Bawa Aku Ke Surga”. Dijawab banget semuanya disitu. Tentang kewajiban orang tua membekali anak terlebih dahulu dengan Iman sebelum Al Quran. Karena Iman akan menjadi bekal dikehidupannya sampai ke akhirat. Apakah itu kecerdasannya dalam hal ilmu dunia, ataupun tentang hapalan Al Quran nya yang banyak, tanpa Iman, maka ia sia – sia. Hebat di dunia tanpa iman, menjadikannya tidak selamat di akhirat. Hebat hapalan Al Qurannya tanpa Iman melakukan ketaatan akan menjadikannya seorang munafik. Maka sampaikan kepada anak kita tentang ini ; Abdullah bin Abbas –radhiyallahu anhuma– menceritakan, suatu hari saya berada di belakang Nabi shallallahu alaihi wasallam. Beliau bersabda, “Nak, aku ajarkan kepadamu beberapa untai kalimat Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya kau dapati Dia di hadapanmu. Jika engkau hendak meminta, mintalah kepada Allah, dan jika engkau hendak memohon pertolongan, mohonlah kepada Allah. Ketahuilah, seandainya seluruh umat bersatu untuk memberimu suatu keuntungan, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan andaipun mereka bersatu untuk melakukan sesuatu yang membahayakanmu, maka hal itu tidak akan membahayakanmu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering. Masyaa Allah, mendengar ini rasanya saya baru diingatkan tentang hal mendasar yang justru terlupakan. Dengan itu saja, sudah cukup seorang anak terhindar dari keadaan down saat gagal ujian masuk perguruan tinggi yang ia cita – citakan karena meski ia telah ikhtiar tapi jika itu bukan takdirnya maka tidak akan ia raih. Iapun percaya ada rencana Allah lainnya yang menjadi takdirnya dan itu baik baginya. Tidak akan ada anak yang minder jika keadaannya berbeda dengan teman lainnya. Baik dalam hal harta, keadaan fisik, maupun kecerdasannya. Karena ia tahu, Allah telah berikan sesuai dengan takdirnya. Sebagian kita terlalu menuntut anak untuk pintar disemua mata pelajaran. Sibuk dengan les ini dan itu. Menyampaikan bahwa kamu suatu saat harus jadi orang dengan ilmu kamu. Maka kamu harus pintar. Harus rajin belajar. Ya benar, pintar memang harus. Tapi jika itu untuk dunia, temukan saja satu bakatnya yang bisa menjadi bekal hidupnya. Apakah ia berpotensi menjadi seorang dokter, maka tidak perlu memaksanya pandai juga banyak bahasa asing. Jika dia berbakat dibidang matematika, maka tidak perlu memaksanya pandai desain misalnya. Agar waktunya terfokus pada bidang yang ia minati. Bahwa membekali anak agar siap menghadapi masa depan dengan dengan ilmu paling canggih saat inipun, belum tentu dimasa depan ilmu itu bisa ia pakai. Semua cepat berganti. Bukankah banyak saat ini orang – orang yang bekerja tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya dahulu? Namun dengan iman, apapun itu tak kan jadi masalah. Karena Firman Allah “Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” QS. Ath Tholaq 2-3 Lalu mengapa kita masih sibuk dengan persiapan dunianya saja ; Ini asuransi pendidikan, ini asuransi kesehatan, ini tabungan untuk nanti menikah, ini rumah untuk anak – anak, dst. Sampai – sampai kita sibuk dengan pekerjaan dan tak sempat lagi menikmati kebersamaan dengan anak, memberikan mereka nasihat, membekali mereka dengan berbagai rencana akhirat. Sampai lalai membekalinya dengan iman. Bahwa Allah melihatnya, bahwa setiap tindak langkahnya dicatat malaikat, bahwa jika ia kesulitan Allah yang akan menolongnya, jika ia kebingungan Allah pula yang akan menuntunnya. Bagaimana bisa kita marah kepada anak saat nilainya buruk, saat ia membangkang, saat ia tak mau sekolah. Bukan marah karena anak lalai dengan sholatnya, tak peduli dengan pergaulannya. Kita bisa marah saat anak susah bangun pagi untuk berangkat sekolah, tapi tak marah saat anak tidak bangun untuk sholat subuh. Astaghfirullah…. Bukan berapa banyak juz anak kita hapal Al Quran, tapi hatinya hampa dari rasa cinta kepada Allah. Bukan berapa banyak prestasinya ia raih disekolah, tapi seberapa dalam kecintaannya kepada Allah. Menggantungkan hati dan harapan hanya kepada Allah. Bersungguh – sungguh dalam ketaatannya kepada Allah. Jika Iman ada dalam hatinya, profesi apapun yang halal, jadi apapun ia kelak, maka itulah investasi akhirat. Itulah kesuksesan sejati. Agar sekeluarga, bisa berkumpul kembali di SurgaNya Kelak.
ImamMalik pernah berbicara kepada muridnya, “Pelajarilah adab sebelum mempelajari ilmu.” Begitu pula yang diperintahkan ulama-ulama lainnya. Tak melulu itu, adab menjadi di antara amal yang dapat ditanamkan untuk diri sendiri sebagai bekal pahala di akhirat kelak. Disebutkan dalam hadits, “Tidak terdapat sesuatu juga yang lebih berat Tidak diragukan lagi bahwa belajar dan menuntut ilmu agama telah dijelaskan keutamaannya dalam nash yang terbilang dalam al-Quran maupun al-Hadist, diantaranya Allah berfirman يَرْفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْعِلْمَ دَرَجَٰتٍ “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”. al-Mujadilah 11. Disebutkan pula dalam hadist bahwa Rasul sallallahu alaihi wa sallam bersabda وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ على الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ على سَائِرِ الْكَوَاكِبِ “Sesungguhnya keutamaan seorang yang berilmu dibanding ahli ibadah, seperti keutamaan bulan di malam purnama dibanding seluruh bintang- bintang.” HR. Abu Dawud Ibnu Majah dari hadis Abu Darda’ radhiyallahu anhu. Seorang penuntut ilmu jika senantiasa menghadirkan keutamaan yang disebutkan dalam dalil-dalil tersebut. Karena sangatlah penting agar ia bisa tetap memberikan suntikan semangat untuk belajar. Dan menuntut ilmu itu memiliki adab-adab yang harus diperhatikan. Ketika seorang pembelajar memegang adab-adab ini, maka dampaknya akan memberikan nilai positif ketika berinteraksi dengan guru dan teman sejawatnya dalam belajar. Ia juga bisa memperingkas jalan dia dalam belajar. Bisa mengetahui mana yang lebih penting dari perkara-perkara penting dalam belajar yang harus diambil terlebih dahulu. Bahkan adab belajar bisa menuntun dia kepada jalan yang akan menjadikannya ahli ilmu yang kokoh dalam keilmuan. Nasehat ulama tentang pentingnya beradab sebelum berilmu Sebagaimana hal tersebut telah dicontohkan oleh para kibar ulama. Sebagian adab-adab belajar bisa didapat dengan membaca buku-buku yang ditulis dalam tema ini, atau juga bisa diambil dengan berinteraksi langsung dengan para ulama. Berikut diantara statement ulama yang menekankan pentingnya beradab dahulu sebelum menuntut ilmu Berkata Ibnu Wahb ما نقلنا من أدب مالك أكثر مما تعلمنا من علمه “Apa yang kami nukilkan dari adabnya Imam Malik jumlahnya lebih banyak daripada apa yang kami pelajari dari ilmunya”. Lihat Siyar al-A’lam al-Nubala juz8 hal113 Kebutuhan seorang penuntut ilmu akan adab sebelum memulai menuntut ilmu adalah perkara yang sangat penting, oleh karenanya begitu banyak wasiat para ulama dalam masalah ini. Salah satu contohnya, wasiat Imam Malik ketika mengarahkan seorang pemuda quroys dalam belajar, beliau mengatakan يا ابن أخي، تعلم الاب قبل أن تتعلم العلم “Wahai putra saudaraku, belajarlah adab sebelum engkau mempelajari ilmu”. Lihat al-Hilyah oleh Abu Nu’aim juz6 hal330 Yusuf bin Husain juga berkata بالأدب تفهم العلم “Dengan adab anda akan memahami ilmu”. Lihat Iqtidhou al-Ilmi al-Amal oleh al-Khatib al-Baghdady hal170. Begitupula Abu Abdillah al-Balkhy mengatakan أدب العلم أكثر من العلم “Adab berilmu lebih banyak dari ilmu itu sendiri”. Lihat al-Aadabu al-Syariyyah juz3 hal552 Juga lihatlah Imam Laits ibnu Sa’ad ketika beliau mengawasi penuntut ilmu hadist, kemudian beliau melihat ada sesuatu yang kurang pas dalam sikap mereka, kemudian beliau menegur ما هذا؟ أنتم إلى يسير من الأدب أحوج منكم إلى كثير من العلم “Apa ini? Kebutuhan kalian terhadap sedikit adab itu lebih mendesak daripada kebutuhan kalian pada ilmu yang banyak”. Lihat Syarafu Ashabi al-Hadist oleh al-Khatib al-Baghdady no283. Dari beberapa kutipan di atas, kita kemudian menjadi tahu urgensi mempelajari adab sebelum menuntut ilmu, apalah arti seseorang memiliki ilmu yang banyak dan luas namun tidak beradab, justru dampak negatifnya akan lebih besar daripada dampak positif yang akan dibawa. Adab – adab seorang penuntut ilmu Secara singkat, berikut beberapa adab-adab menuntut ilmu yang perlu untuk diketahui oleh para pembelajar ilmu syari sebagaimana disampaikan menurut syaikh al-Munajjid 1. Kesabaran. Menuntut ilmu adalah termasuk perkara mulia dan tinggi dalam sudut pandang agama, dan perkara yang mulia tidaklah bisa dituai melainkan harus bersusah payah dan berlelah-lelah, dan ini semua butuh kesabaran. 2. Mengikhlaskan amalan. Maksudnya adalah menjadikan upaya menuntut ilmu itu sebagai bentuk mencari keridoan Allah, harus ikhlas, jauh dari riya dan keinginan untuk agar bisa tampil dan merasa tinggi di hadapan orang lain, benar-benar tujuannya untuk mengangkat kebodohan dalam diri dan pada orang lain. 3. Mengamalkan ilmu yang didapat. Ketahuilah, bahwa mengamalkan ilmu itu adalah tanda bahwa ilmu tersebut berbuah, barangsiapa yang memiliki ilmu namun tidak mengamalkannya, sejatinya ia telah menyerupai kaum yahudi dalam hal ini. 4. Senantiasa merasa diawasi oleh Allah. Wajibnya bagi penuntut ilmu untuk menghiasi dirinya dengan perasaan diawasi oleh Allah muroqobatullah baik dalam keadaan sembunyi maupun terang, berjalan menuju Allah dengan didampingi perasaan takut khouf dan harap roja, selalu memenuhi hati dengan rasa cinta pada Allah ta’ala al-mahabbah. 5. Memanfaatkan waktu dengan baik. Yaitu bersegera memanfaatkan waktu muda dan umur dengan sebaik mungkin untuk menggali ilmu, jangan terlalu banyak ungkapan besok atau menunda-nunda amalan, jangan terlalu banyak harapan namun minim aksi, menit demi menit berlalu, hari, pekan, bulan dan seterusnya, jika tidak dimanfaatkan waktu itu dengan baik maka kita akan merugi. 6. Himbauan untuk tidak sibuk dengan khilaf para ulama. Sekali-kali janganlah engkau menyibukkan dirimu dengan persilangan pendapat para ulama pada awal mulai belajar, atau menyibukkan dengan perselisihan di tengah manusia secara mutlak, karena hal tersebut akan membingungkan pikiran, juga jangan terlalu membaca terlalu banyak dari banyak sumber, tapi pilihlah kitab-kitab dasar yang sudah diarahkan oleh guru, dibaca dan dikuasai dengan baik sampai mutqin, dengan begitu akan lebih bisa menghemat waktu. 7. Memahami ilmu secara cermat dan itqan menguasai sempurna. Bersemangatlah memahami ilmu secara cermat dan mutqin, tentunya hal tersebut bisa diwujudkan ketika mempelajari ilmu dengan didampingi oleh syaikh atau guru yang berkompeten, dengan menghafal ilmu tersebut, senantiasa diulang-ulang secara periodik agar tidak mudah lupa dan lekang oleh waktu. 8. Menelaah kitab-kitab. Setelah kita menghafal bentuk ringkas dari setiap disiplin ilmu secara mutqin dan cermat, memahami makna dan syarahnya dengan baik dengan dibimbing oleh guru, barulah kita bisa berpindah kepada rujukan yang pembahasannya lebih luas, dengan menelaah secara kontinyu, memberikan komentar dan catatan pada perkara yang dianggap penting dan berfaidah, atau masalah-masalah yang detail, memberikan jawaban dan solusi dari masalah tersebut. 9. Memilih teman yang baik. Berupaya untuk memilih teman yang baik dalam menuntut ilmu, yang menyibukkan dirinya dengan ilmu dan bukan dunia, dia bisa membantumu untuk mewujudkan mimpimu, menolongmu untuk mengumpulkan faidah-faidah ilmiyah dalam belajar, menyemangatimu ketika engkau futur, meringankan bebanmu, yaitu teman yang bersemangat belajar, memiliki akhlak dan agama yang baik dan senantiasa tidak bosan memberikan nasehat. 10. Beradab di hadapan para guru. Ilmu itu tidak bisa diambil langsung begitu saja dari buku, namun wajib engkau ambil dengan arahan dan pengajaran dari guru yang berkompeten, agar engkau tidak terpeleset dalam kesalahan dan kekeliruan pemahaman, karena anda butuh dengan guru yang membimbing anda, maka wajib bagi anda untuk menjaga adab di hadapannya, dengan demikianlah anda akan sukses dan beruntung dalam belajar, mendapatkan ilmu yang mumpuni dan diberi taufik, muliakan guru anda, hormati dia dan bersikap lemah lembut padanya, demikian contoh yang diberikan oleh para ulama di masa lampau. Beberapa adab menuntut ilmu di atas diambil dari link website berikut Kesimpulan Dari paparan sederhana di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa menuntut ilmu agama haruslah didahului dengan mempelajari adab-adabnya. Hal ini sebagaimana arahan dari para ulama yang telah kami kutipkan, karena apalah arti seseorang memiliki ilmu yang banyak namun kurang atau tidak memiliki adab. Tentu hasilnya tidak menjadi sesuatu yang baik. Semoga Allah memberikan taufik pada kita semua. Disusun oleh Ustadz Setiawan Tugiyono, حفظه الله Selasa, 27 Syawwal 1442 H/ 8 Juni 2021 M Ustadz Setiawan Tugiyono, حفظه الله Beliau adalah Alumnus S1 Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab LIPIA Jakarta dan S2 Hukum Islam di Universitas Muhammadiyah Surakarta Untuk melihat artikel lengkap dari Ustadz Setiawan Tugiyono, حفظه الله klik disini Doamerupakan bukti benarnya iman dan pengenalan seseorang pada Allah SWT. 6. Doa menunjukkan bukti benarnya tawakkal seseorang pada Allah SWT. 7. Doa sebagai peredam murka Allah SWT. Itulah bacaan doa pendek sebelum dan sesudah belajar. Bacalah doa ini untuk mendapatkan ilmu dan hasil yang baik. Karena tanpa adab, ilmu yang dikumpulkan hanyalah tumpukan pengetahuan, tidak mencerminkan keindahan dan kelezatan. Oleh KH Hafidz Abdurrahman Khadim Ma’had Syaraful Haramain Pentingnya Adab — Ibn Hajar al-Asqalani w. 852 H rahimahu–Llah, menyatakan, bahwa belajar adab itu artinya mengambil akhlak yang mulia [Lihat, Ibn Hajar, Fath al-Bari, Juz X/400]. Begitu pentingnya belajar adab itu, sampai Sufyan at-Tsauri w. 161 H mengatakan, “Ketika seseorang ingin menulis hadits, maka dia terlebih dulu belajar adab, dan ibadah, dua puluh tahun, sebelumnya menulis hadits.” [Abu Nu’aim, Hilyatu al-Auliya’, Juz VI/361] Hal yang hampir senada juga disampaikan oleh Ibn Mubarak. Beliau menyatakan قَالَ لِيْ مَخْلَدُ بْنِ الْحُسَيْنِ نَحْنُ إِلَى كَثِيْرٍ مِنَ الأَدَبِ أَحْوَجُ مِنَّا إِلَى كَثِيْرٍ مِنَ الْحَدِيْثِ “Makhlad bin al-Husain berkata kepadaku, “Kami lebih membutuhkan banyak adab, ketimbang kebutuhan kami akan banyak hadits.” [al-Khathib al-Baghdadi, al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi, Juz I/80] Bahkan, dalam kitab yang sama, Ibn Mubarak w. 181 H, menyatakan مَنْ تَهَاوَنَ بِالأَدَبِ عُوْقِبَ بِحِرْمَانِ السُّنَنِ، وَمَنْ تَهَاوَنَ باِلسُّنَنِ عُوْقِبَ بِحِرْمَانِ الْفَرَائِضِ، وَمَنْ تَهَاوَنَ بِالْفَرَائِضِ عُوْقِبَ بِحِرْمَانِ المَعْرِفَةِ “Siapa saja yang meremehkan adab, maka dia akan disiksa dengan kekurangan akan [amalan] sunah. Siapa saja yang meremehkan amalan sunah, maka dia akan disiksa dengan kekurangan akan [amalan] fardhu. Siapa saja yang meremehkan amalah fardhu, maka dia akan disiksa dengan kekurangan akan makrifat.” [al-Khathib al-Baghdadi, al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi, Juz I/80] Menunjukkan begitu pentingnya adab, sebelum ilmu. Karena tanpa adab, ilmu yang dikumpulkan hanyalah tumpukan pengetahuan, tidak mencerminkan keindahan dan kelezatan. Apa Sesungguhnya Adab? Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah w. 751 H menyatakan عِلْمُ الأَدَبِ هُوَ عِلْمُ إِصْلاَحِ اللِّسَانِ وَالْخِطَابِ، وَإِصَابَةِ مَوَاقِعِهِ، وَتَحْسِيْنِ أَلْفَاظِهِ، وَصِيَانَتِهِ عَنِ الْخَطَأِ وَالْخَلَلِ “Ilmu adab adalah ilmu untuk memperbaiki lisan [tutur kata], seruan, ketepatan dalam menempatkan pada posisinya, pemilihan kata yang baik dan tepat, serta menjaganya dari kesalahan dan cacat.” [Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Madzariju as-Salikin, Juz II/368] Menurut Syaikh Shalah Najib ad-Daqq, adab itu ada dua Pertama, adab alami [tabhî’i], yaitu adab yang Allah ciptakan pada diri manusia, dengan ciri dan karakteristik itu. Kedua, adab hasil belajar [iktisâbi], yaitu adab yang diperoleh oleh seseorang karena belajar dari orang yang memiliki ilmu dan kemuliaan. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Zari’, yang ketika itu menyertai delegasi Abdu al-Qais, beliau menyatakan أن النبيَّ صلى الله عليه وسلم قال للمنذر الأشج إن فيك خَلَّتين يحبهما الله؛ الحِلْم، والأَنَاة، قال يا رسول الله، أنا أتخلَّق بهما أمِ اللهُ جبَلني خلقني عليهما؟ قال بلِ اللهُ جبَلك عليهما، قال الحمد لله الذي جبلني على خَلَّتين يحبُّهما الله ورسوله؛ “Nabi sha-Llahu alaihi wa Sallama bersabda kepada al-Mundzir al-Asyaj, “Sesungguhnya di dalam dirimu ada watak alami yang keduanya dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu sifat “hilm” [kelapangan dada] dan “anât” [kesabaran].” Beliau bertanya, “Ya Rasulullah, apakah aku berakhlak dengan keduanya [karena belajar], atau Allah yang telah menciptakan aku memiliki watak seperti itu?” Baginda sha-Llahu alaihi wa Sallama menjawab, “Bukan [kamu], tetapi Allahlah yang telah menciptakan kamu memiliki watak seperti itu.” Beliau menimpali, “Segala puji hanya milik Allah, Dzat yang telah menciptakan aku dengan dua watak alami yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya.” [Hr. Abu Dawud, hadits hasan. Lihat, al-Albani, Shahîh Abî Dâwud, hadits no. 4353] Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah menuturkan أدب المرء عنوانُ سعادته وفلاحه، وقلة أدبه عنوان شقاوته وبَوَارِه، فما استُجلِب خيرُ الدنيا والآخرة بمثل الأدب، ولا استُجلِب حرمانُهما بمثل قلة الأدب. “Adab seseorang itu adalah alamat kebahagiaan dan keberuntungannya. Sedangkan minimnya adab merupakan alamat kenestapaan dan kerugiaannya. Tidak ada kebaikan di dunia dan akhirat yang diharapkan untuk diperoleh seperti memperoleh adab. Begitu juga, tak ada yang sudi mendapatkan keburukan di dunia dan akhirat sebagaimana minimnya adab.” [Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Madarij as-Salikin, Juz II/368] Tolok Ukur Adab Sufyan bin Uyainah [w. 198 H], guru Imam as-Syafii [w. 204 H], menyatakan إن رسولَ الله صلى الله عليه وسلم هو الميزان الأكبر؛ فعليه تُعرَض الأشياء، على خُلقه وسيرته وهَديه، فما وافقها فهو الحق، وما خالفها فهو الباطل “Sesungguhnya Rasulullah sha-Llahu alaihi wa Sallama merupakan mizan [neraca/tolok ukur] besar. Kepadanya semua perkara diajukan [dibentangkan untuk diukur], berdasarkan akhlak, perjalanan hidup dan tuntunan baginda. Mana yang sesuai, maka itu merupakan kebenaran. Mana yang menyimpang, maka itu merupakan kebatilan.” [al-Khathib al-Baghdadi, al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi, Juz I/79] Karena itu, Muhammad bin Syihab az-Zuhri [w. 124 H] menyatakan إن هذا العلم أدبُ الله الذي أدَّب به نبيه صلى الله عليه وسلم، وأدَّب النبي صلى الله عليه وسلم أمَّته، أمانة الله إلى رسوله ليؤديه على ما أُدِّي إليه، فمن سمع علمًا فليجعله أمامه حجةً فيما بينه وبين الله عز وجل؛ “Sesungguhnya ilmu ini merupakan adab Allah, yang Dia gunakan untuk mendidik Nabi-Nya, sha-Llahu alaihi wa Sallama, yang juga digunakan oleh Nabi sha-Llahu alaihi wa Sallama, untuk mendidik umatnya. Merupakan amanah Allah kepada Rasul-Nya agar baginda tunaikan sebagaimana yang telah disampaikan kepada baginda. Maka, siapa saja yang mendengarkan ilmu, maka hendaknya dia menjadikan ilmunya itu menjadi hujah di hadapannya, antara dia dengan Allah Azza wa Jalla.” [al-Khathib al-Baghdadi, al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi, Juz I/78] Rasulullah sha-Llahu alaihi wa Sallama itu sendiri merupakan sumber yang luar biasa. Alquran, yang diturunkan kepada kita, yang terkumpul dalam mushaf, mulai dari al-Fatihah hingga an-Nas, itu benar-benar telah dihidupkan oleh baginda Nabi sha-Llahu alaihi wa Sallama sebagai sebuah peradaban selama 23 tahun kehidupan risalah dan nubuwwah baginda sha-Llahu alaihi wa Sallama. Semuanya itu direkam oleh para sahabat. Ada yang kemudian diriwayatkan secara lisan, baik menuturkan ucapan, tindakan maupun diamnya baginda Nabi sha-Llahu alaihi wa Sallama sehingga menjadi hadits. Ada juga yang diriwayatkan dalam bentuk Ijmak Sahabat, karena mereka semuanya tahu seluk-beluk kehidupan baginda sha-Llahu alaihi wa Sallama. Maka, dari kehidupan para sahabat, kita juga bisa menimba adab. Begitu juga dari generasi berikutnya, yang mewarisi peradaban agung dan mulia dari mereka. Wajar, jika konvensi penduduk Madinah, sampai dijadikan oleh Imam Malik sebagai salah satu sumber hukum. Lihatlah, sampai hari ini, penduduk Madinah merupakan penduduk yang paling tinggi akhlaknya. Bagaimana Mereka Belajar Adab? Muhammad bin Sirin [w. 110 H] menceritakan karakteristik Tabiin, “Mereka itu mempelajari tuntunan hidup [adab], sebagaimana mereka mempelajari ilmu.” [al-Khathib al-Baghdadi, al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi, Juz I/79] Imam Malik bin Anas [w. 179 H] pernah menyatakan kepada seorang pemuda Quraisy, “Wahai putra saudaraku, pelajarilah adab, sebelum kamu belajar ilmu.” [Abu Nu’aim, Hilyatu al-Auliya’, Juz VI/330]. Beliau juga menyatakan, “Hak yang menjadi kewajiban bagi siapa yang menuntut ilmu, agar dia memiliki penghormatan, ketenangan, dan rasa takut [kepada Allah]. Hendaknya dia juga mengikuti jejak orang-orang sebelumnya.” [al-Khathib al-Baghdadi, al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi, Juz I/156] Ibn Wahab menyatakan, “Adab Imam Malik yang kami nukil, yaitu apa yang kami pelajari, lebih banyak ketimbang ilmunya.” [ad-Dzahabi, Siyar al-A’lam an-Nubula’, Juz VIII/113] Ad-Dahabi juga menuturkan, bahwa Ismail bin Uliyyah berkata, “Dulu orang berkumpul di Majlis Imam Ahmad ada kira-kira 5000, atau lebih, hingga 500 orang. Mereka menulis. Sisanya, mereka belajar dari beliau mengenai kemuliaan adab dan perilaku.” [ad-Dzahabi, Siyar al-A’lam an-Nubula’, Juz XI/316] Para murid dan pengikut Abdullah bin Mas’ud, sahabat Nabi, pergi dan datang untuk berguru kepada beliau. Mereka melihat bagaimana kemuliaan perilaku beliau, dan tuntunan hidup [yang terkait dengan respek, penghormatan dan ketenangan] beliau. Mereka pun menduplikasikannya, sebagaimana Abdullah bin Mas’ud. [al-Qasim bin Salam, Gahrib al-Hadits, Juz I/384] Begitu juga para murid dan pengikut Ali bin al-Madini [w. 234 H], guru Imam al-Bukhari, sebagaimana diceritakan oleh Abbas al-Anbari, “Mereka menulis tentang berdirinya Ali bin al-Madini [guru Imam al-Bukhari], begitu juga duduknya, pakaiannya, dan apa saja yang beliau sampaikan, dan lakukan. Atau hal-hal seperti itu.” [al-Khathib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, Juz XIII/321] An-Nakha’i [w. 96 H] mengatakan, “Mereka [generasi Salaf], ketika mendatangi seseorang [ulama’] untuk mengambil ilmu darinya, maka mereka akan perhatikan perilakunya, shalat dan keadaannya, baru setelah itu mereka mengambil ilmu darinya.” [al-Khathib al-Baghdadi, al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi, Juz I/28] Beliau juga menuturkan, “Jika kami ingin mengambil ilmu dari seorang guru [Syaikh], maka kami akan menanyakan tentang makanan dan minumam beliau, tentang tempat keluar dan masuknya.” [al-Jurjani, al-Kamil fi Dhu’afa’ ar-Rijal, Juz I/602] Maka, sebagian orang bijak mengatakan, “Adab dalam perbuatan [perilaku] merupakan indikasi diterimanya amal [perbuatan].” [Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Madarij as-Salikin, Juz II/360] Membersamai Ulama’ Membersamai ulama’ dalam waktu yang lama merupakan cara terbaik untuk mendapatkan adab dan ilmu. Begitulah dahulu para sahabat dan generasi setelahnya belajar adab dan ilmu. Imam al-Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan dari al-A’raj, berkata, “Aku pernah mendengar Abu Hurairah berkata إنكم تزعمون أن أبا هريرة يُكثر الحديث عن رسول الله صلى الله عليه وسلم، واللهُ الموعد، كنتُ رجلًا مسكينًا، أخدُمُ رسول الله صلى الله عليه وسلم على مِلْءِ بطني، وكان المهاجرون يَشغَلهم الصَّفْقُ بالأسواق، وكانت الأنصار يَشغَلهم القيام على أموالهم، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم مَن يبسط ثوبه، فلن ينسى شيئًا سمعه مني، فبسطت ثوبي حتى قضى حديثه، ثم ضممتُه إليَّ، فما نسيت شيئًا سمعته منه؛ “Kalian mengira, bahwa Abu Hurairah itu memiliki banyak hadits dari Rasulullah sha-Llahu alaihi wa Sallama? Allah Dzat Maha Tahu dan Membuat perhitungan [jika aku berbohong]. Aku adalah lelaki miskin. Aku membantu Rasulullah sha-Llahu alaihi wa Sallama dengan batas kemampuanku. Sementara kaum Muhajirin mereka sibuk dengan berdagang di pasar. Kaum Anshar sibuk mengurus harta mereka. Maka, Rasulullah sha-Llahu alaihi wa Sallama bertanya, “Siapa yang bersedia membentangkan bajunya, maka dia tak akan pernah lupa sedikit pun apa yang dia dengarkan dariku.” Maka, akupun membentangkan bajuku, hingga baginda pun menyampaikan haditsnya. Lalu, aku pun menghimpunnya di dalam diriku. Sejak itu, aku tak pernah lupa sedikitpun tentang apa yang aku dengarkan dari baginda sha-Llahu alaihi wa Sallama.” [Hr. Bukhari dan Muslim] Begitulah, kisah tentang Abu Hurairah, yang datang ke Madinah, setelah peristiwa Perang Khaibar, setelah Sulh Hudaibiyah, tahun 6 H. Dengan kata lain, beliau hanya bersama Nabi tidak kurang dari 4 tahun. Tetapi, karena tekadnya membersamai Nabi sha-Llahu alaihi wa Sallama itulah yang membuatnya menguasai banyak hadits, dan karamah, karena doa dari Nabi sha-Llahu alaihi wa Sallama. Imam Abu Hanifah w. 148 H menuturkan, “Aku membersamai Hamad bin Abi Sulaiman selama 12 tahun.” [al-Khathib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, Juz XV/444]. Beliau melanjutkan, “Aku tidaklah shalat, sekali saja, sejak Hamad wafat, kecuali aku memintakan ampunan untuknya dan kedua orang tuaku. Aku juga memintakan ampunan untuk mereka yang aku telah belajar ilmu darinya, atau murid yang aku ajari ilmu.” [al-Khathib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, Juz XV/444]. Kata Imam Malik, “Dulu, ada orang [alim] yang bolak-balik kepada seorang [alim] selama 30 tahun, untuk menimba ilmu darinya.” Beliau juga menceritakan, “Nu’aim al-Mujimar membersamai Abu Hurairah selama 20 tahun.” [ad-Dzahabi, Siyar al-A’lam an-Nubula’, Juz XI/108] Tsabit al-Bunani mengatakan, “Aku telah membersamai Imam Anas bin Malik selama 40 tahun. Aku tidak melihat ada orang yang ahli ibadah melebihi beliau.” [ad-Dzahabi, Siyar al-A’lam an-Nubula’, Juz V/222]. Bagitu juga Nafi’ bin Abdillah menuturkan, “Aku membersamai Malik selama 40 tahun, atau 35 tahun.” [Abu Nu’aim, Hilyatu al-Auliya’, Juz VI/320] Bahkan, kata Ibn Hibban, “Hamid bin Yahya al-Balkhi, termasuk orang yang telah menghabiskan umurnya dengan membersamai Sufyan bin Uyainah.” [Ibn Hibban, at-Tsiqqat, Juz VIII/218] Mereka bertahun-tahun membersamai ulama’, tak hanya belajar adab, ilmu, tetapi juga mengharapkan keberkahan. Di antara keberkahan membersamai ulama’ itu, sebagaimana diceritakan oleh Abdullah bin Abi Musa at-Tasturi, “Ada yang memberi nasihat kepadaku, “Di mana pun kamu berada, dekatlah dengan orang yang faqih.” Maka, aku pun datang ke Beirut, menemui Imam al-Auza’i. Ketika aku sedang bersamanya, tiba-tiba beliau bertanya tentang urusanku, dan aku pun memberitahukannya kepada beliau. Beliau bertanya, “Apakah kamu mempunyai ayah?” Aku jawab, “Iya. Aku meninggalkannya di Irak dalam keadaan Majusi.” Beliau bertanya, “Apakah kamu bisa kembali kepadanya, siapa tahu Allah memberikan hidayah melalui kedua tanganmu?” Aku bertanya, “Apakah Anda menyarankan itu kepadaku?” Beliau menjawab, “Iya.” Maka, aku pun mendatangi ayahku. Aku mendapatinya sedang sakit. Beliau berkata kepadaku, “Wahai putraku, apa yang menjadi keyakinanmu?” Maka, aku pun menceritakan kepada beliau, bahwa aku telah memeluk Islam. Beliau bertanya kepadaku, “Coba jelaskan agamamu itu kepadaku.” Aku pun menceritakan Islam dan pemeluknya kepada beliau. Beliau kemudian berkata, “Aku bersaksi, bahwa aku benar-benar telah memeluk Islam.” Beliau pun wafat dalam sakitnya itu. Aku menguburkannya, kemudian aku kembali menemui Imam al-Auza’i, lalu aku menceritakannya kepada beliau.” [Ibn Asyakir, Tarikh Dimasyqa, Juz XXX/231] Begitulah, kebiasaan generasi terbaik umat Nabi Muhammad ini di masa lalu. Mereka membersamai ulama’, dan benar-benar mengharapkan keberkahan dengan membersamai mereka. Contoh Adab Ulama’ Thawus bin Kisan berkata, “Di antara perkara sunah [tuntunan Nabi] adalah menghormati orang alim [yang berilmu].” [Ibn Abd al-Barr, Jami’ Bayan al-Ilm, Juz I/519] Al-Hasan al-Bashri menuturkan, “Ibn Abbas tampak menuntun tunggangan Ubay bin Ka’ab. Kemudian ada yang bertanya kepada beliau, “Anda adalah putra dari paman Rasulullah, Anda menuntun tunggangan seorang lelaki Anshar?” Beliau menjawab, “Sudah menjadi keharusan bagi tinta [sumber ilmu] untuk diagungkan dan dimuliakan.” [al-Khathib al-Baghdadi, al–Jami’ li Akhlaq ar-Rawi, Juz I/108] Amir as-Sya’bi juga berkata, “Ibn Abbas telah memegangi tungangan Zaid bin Tsabit, lalu beliau berkata, “Anda memegangi untukku, sementara Anda adalah putra dari paman Rasulullah?” Beliau menjawab, “Beginilah kami seharusnya memperlakukan ulama’.” [al-Khathib al-Baghdadi, al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi, Juz I/108] Dalam riwayat lain, Ibn Abbas memuji beliau dengan mengatakan, “Zaid bin Tsabit merupakan orang-orang yang ilmunya mendalam.” [ad-Dzahabi, Siyar al-A’lam an-Nubula’, Juz II/437] Abdurrahman bin Zaid bin Aslam berkata, “Yahya bin Sa’id telah membersamai Rabi’ah bin Abi Abdurrahman at-Taimi. Jika Rabi’ah berhalangan, Yahya menyampaikan hadits kepada mereka dengan sempurna. Beliau adalah murid yang banyak menguasai hadits. Tetapi, jika Rabi’ah hadir, maka Yahya pun menahan diri, karena menghormati Rabi’ah. Bukan karena Rabi’ah lebih tua darinya, padahal usianya sama. Masing-masing saling menghormati.” [ad-Dzahabi, Siyar al-A’lam an-Nubula’, Juz VI/92] Ubaidillah bin Umar berkata, “Yahya bin Sa’id biasa menyampaikan hadits kepada kami. Beliau pun menyampaikan kepada kami, ibarat mutiara. Tetapi, ketika Rabi’atu ar-Ra’yi muncul, seketika Yahya menghentikan penjelasannya, karena menghormati Rabi’ah dan memuliakannya.” [al-Khathib al-Baghdadi, al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi, Juz I/320] Muhammad bin Rafi’ berkata, “Aku bersama Imam Ahmad dan Ishaq di tempat Imam Abdurrazzaq. Hari Raya Idul Fitri menghampiri kami. Kami keluar bersama Abdurrazzaq ke tempat shalat. Kami bersama banyak orang. Ketika kami kembali, Abdurrazzaq mengajak kami makan. Beliau berkata kepada Imam Ahmad dan Ishaq, “Hari ini aku melihat ada yang aneh pada diri kalian berdua. Mengapa kalian tidak mengumandangkan takbir?” Imam Ahmad dan Ishaq menjawab, “Wahai Abu Bakar [Imam Abdurrazzaq], kami menunggu, apakah Anda mengumandangkan takbir atau tidak? Maka, kami pun akan mengumandangkan takbir. Ketika kami melihatmu tidak mengumandangkan takbir, maka kami pun menahan diri.” Beliau berkata, “Aku juga melihat kalian berdua. Apakah kalian berdua mengumandangkan takbir, atau tidak?” Maka, aku pun akan mengumandangkan takbir.” [ad-Dzahabi, Siyar al-A’lam an-Nubula’, Juz IX/566] Lihatlah, adab Imam Muslim kepada Imam al-Bukhari, gurunya, “Biarkanlah aku mencium kedua kakimu, wahai guru para guru, penghulu para ahli hadits, dan dokter hadits yang menguasai segala macam penyakitnya.” [ad-Dzahabi, Siyar al-A’lam an-Nubula’, Juz XII/432] Begitulah, adab dan akhlak para ulama’ di masa lalu.[] Facebook Notice for EU! You need to login to view and post FB Comments!
Mulaidalam hal ibadah, mencari ilmu, berdagang, bersosial dan sampai kepada adab-adab sebelum makan. Hal itu karena makanan halal merupakan dasar bagi setiap amal ibadah diterima di sisiNya. Sebaliknya jika memakan makanan yang haram, maka bukan hanya ibadahnya tidak diterima, tetapi doanya pun tidak diperkenankan oleh Allah SWT.
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Adab Sebelum IlmuOleh Suharni"Tuntutlah ilmu dari buaian sampai ke liang lahat"Al Hadits Hadits di atas memberikan motivasi pada kita bahwa menuntut ilmu merupakan sebuah kewajiban, bahkan keniscayaan, selama hayat di kandung badan. Tidak ada kata terlambat dalam mempelajari suatu ilmu. Ilmu laksana lentera yang akan menerangi setiap langkah kita dalam menjalani kehidupan. Tanpa ilmu, kita bagaikan seorang buta yang melangkah tak tahu arah dan mudah tersesat, begitu pesan orang bijak. Dengan ilmu seseorang akan dapat meraih bahagia baik di dunia maupun di akhirat sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, "barang siapa ingin bahagia di dunia maka dengan ilmu, barang siapa ingin bahagia di akhirat maka dengan ilmu, dan barang siapa ingin bahaga di dunia dan di akhirat maka juga dengan ilmu" Al Hadits. Akan tetapi, ada yang lebih penting dari ilmu yaitu adab atau etika. Berinteraksi dengan orang lain adalah sebuah keniscayaan bagi setiap manusia. Namun, ada tata cara dalam berinteraksi dengan orang lain terlebih dalam hal menuntut ilmu. Amat penting untuk mempelajari adab sebelum mempelajari sebuah ilmu. Dari artikel disebutkan beberapa adab dalam menuntut ilmu, berikut karena Allah SWT. Hal utama yang harus disiapkan dalam menuntut ilmu adalah niat. Menuntut ilmu hendaknya diniatkan karena Allah SWT agar ilmu yang didapatkan bermanfaat dan mendapat keberkahan dari berdoaDoa adalah senjata bagi seorang muslim. Mengawali aktifitas apapun termasuk menuntut ilmu hendaknya diawali dengan berdoa agar diberikan kemudahan dalam menyerap ilmu dan Dalam menuntut ilmu hendaknya bersungguh-sungguh dan selalu antusias. Rasulullah SAW bersabda "man jadda wajada" yang artinya "barangsiapa yang bersungguh-sungguh maka dia akan mendapatkan apa yang di harapkannya".Menjauhi maksiat. Ilmu adalah cahaya, dan cahaya ilmu tidak akan dapat menembus hati yang tertutup dengan maksiat. Maksiat akan membuat otak sulit rendah hati. Seperti padi semakin berisi semakin menunduk, seorang penuntut ilmu hendaklah memiliki sifat rendah hati, selalu merasa fakir dengan ilmu. Banyak kisah orang yang dihinakan oleh Allah karena kesombongan dengan ilmu yang penjelasan. Salah satu adab dalam menuntut ilmu adalah memperhatikan penjelasan yang diberikan oleh seorang guru agar memperoleh pemahaman yang benar terhadap suatu menyimak. Berusaha memahami sebuah ilmu salah satunya dengan cara diam menyimak sehingga penjelasan yang di dengarnya tidak ada yang Adab selanjutnya dalam menuntut ilmu adalah menghafalkannya karena manusia adalah makhluq yang mudah lupa, maka menuliskan dan berusaha untuk menghafal ilmu yang sudah diperoleh. Ali bin Abi Thalib pernah menyampaikan bahwa "ikatlah lmu itu dengan cara menuliskannya"Mengamalkan. Ilmu tidak akan bermanfaat apabila dibiarkan saja mengendap di dalam diri seseorang, maka mengamalkannya menjadi kewajiban seorang muslim. Mengajarkan. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW pernah bersabda "sampaikanlah ilmumu walau hanya satu ayat". Hadits tersebut mengandung makna bahwa kita mempunyai kewajiban untuk menyampaikan ilmu kepada orang ingin agar ilmu yang kita dapatkan berkah dan bermanfaat, bukan?. Maka tiada kata berhenti untuk sebuah ilmu dengan mendahulukan memperhatikan adab-adabnya. Lihat Sosbud Selengkapnya
Sabtu 21 Mei 2022, Prodi Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Ahmad Dahlan (UAD) mengadakan syawalan dengan mengusung tema “Adab Sebelum Ilmu”. Acara ini merupakan agenda dari Prodi Pendidikan Biologi dengan tujuan menjalin silaturahmi pasca-Idulfitri, membangun kembali komunikasi, serta
Salah satu adab yang diajarkan dalam Islam adalah adab menuntut ilmu. Ya, adab dalam menuntut ilmau sangat diperlukan. Bahkan Imam Malik rahimahullah pernah berkata pada orang Quraisy,تعلم الأدب قبل أن تتعلم العلم“Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu.”Maka dari itu, sangat penting untuk mempelajari adab terlebih dahulu sebelum menuntut ilmu. Berikut ini adalah adab dalam menuntut ilmu yang perlu diketahui1. Niat karena AllahHal pertama yang harus dipersiapkan sebelum menuntut ilmu adalah membenarkan niat. Niatkan semua ilmu yang akan kamu pelajari hanya karena Allah. Sebagaimana firman Allah dalam Al Bayyinah ayat 5, وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِPadahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. Rasulallah shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda, “Barangsiapa yang menuntut ilmu syar’i yang semestinya ia lakukan untuk mencari wajah Allah dengan ikhlas, namun ia tidak melakukannya melainkan untuk mencari keuntungan duniawi, maka ia tidak akan mendapat harumnya aroma surga pada hari kiamat.” HR. Ahmad2. Selalu berdoaDalam menuntut ilmu hendaknya kita selalu berdoa agar diberi kemudahan dalam menyerap ilmu dan Azza wa Jalla berfirmanوَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًاdan katakanlah ”Ya Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan”. [Thâhâ/20114]Baca jugaAdab menghadiri pernikahan dalam IslamAdab i’tikaf di bulan RamadhanAdab berkurban dalam IslamAdab cukur rambut bayi dalam IslamAdapun doa yang biasa dipanjatkan oleh Rasul dalam menuntut ilmu adalah,اَللَّهُمَّ انْفًًًًًًََعْنِيْ مَا عَلَّمْتَنِيْ وَعَلِّمْنِيْ مَا يَنْفَعُنِيْ وَزِدْنِيْ عِلْماًYa Allah, berilah manfaat atas apa yang Engkau ajarkan kepadaku, ajarilah aku hal-hal yang bermanfaat bagiku, dan tambahilah aku ilmu [HR. at-Tirmidzi dan Ibnu Mâjah, dishahihkan al-Albâni]3. Selalu bersungguh-sungguhKetika menuntut ilmu hendaknya kita bersungguh-sungguh dan selalu antusias untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat. Seolah-olah tidak pernah kenyang dengan ilmu yang didapatkan, hendaknya kita selalu berkeinginan untuk menambah ilmu shallallahu alaihi wa sallam barsabda, “ Dua orang yang rakus yang tidak pernah kenyang yaitu 1 orang yang rakus terhdap ilmu dan tidak pernah kenyang dengannya dan 2 orang yang rakus terhadap dunia dan tidak pernah kenyang dengannya.” HR. Al-Baihaqi4. Menjauhi maksiatUntuk bisa mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan berkah, maka jauhkanlah diri dari berbagai macam maksiat. Maksiat akan membuat otak menjadi sulit untuk berkonsentrasi sehingga ilmu sangat sulit أَبِى هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا أَخْطَأَ خَطِيئَةً نُكِتَتْ فِى قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ فَإِذَا هُوَ نَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ وَتَابَ سُقِلَ قَلْبُهُ وَإِنْ عَادَ زِيدَ فِيهَا حَتَّى تَعْلُوَ قَلْبَهُ وَهُوَ الرَّانُ الَّذِى ذَكَرَ اللَّهُ كَلاَّ بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ »Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Seorang hamba apabila melakukan suatu kesalahan, maka dititikkan dalam hatinya sebuah titik hitam. Apabila ia meninggalkannya dan meminta ampun serta bertaubat, hatinya dibersihkan. Apabila ia kembali berbuat maksiat, maka ditambahkan titik hitam tersebut hingga menutupi hatinya. Itulah yang diistilahkan “ar raan” yang Allah sebutkan dalam firman-Nya yang artinya, Sekali-kali tidak demikian, sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka’.”Baca jugaAdab bercandaAdab cukur rambut bayi dalam IslamAdab memotong rambut dalam IslamAdab menyamnpaikan nasihan dalam IslamAdab puasa Ramadhan5. Selalu rendah hatiBanyak sekali orang berilmu yang justru menjadi sombong hanya karena merasa lebih baik dibandingkan orang lain. Jika ingin mendapatkan ilmu yang baik dan bermanfaat, maka tetaplah menjadi pribadi yang rendah Mujahid mengatakan,لاَ يَتَعَلَّمُ الْعِلْمَ مُسْتَحْىٍ وَلاَ مُسْتَكْبِرٌ“Dua orang yang tidak belajar ilmu orang pemalu dan orang yang sombong” HR. Bukhari secara muallaq6. Memperhatikan penjelasanJika ingin mendapatkan ilmu dengan mudah, maka konsentrasilah ketika guru atau ustadz menjelaskan. Fokuslah untuk menyerap ilmu yang disampaikan. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,“… sebab itu sampaikanlah berita gembira itu kepada hamba-hambaKu, yaitu mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan merekalah orang-orang yang mempunyai akal sehat.” QS. Az-Zumar 17-187. Diam menyimakSalah satu adab dalam menuntut ilmu yang banyak ditinggalkan adalah diam ketika guru atau ustadz menjelaskan. Jangan berbicara atau bahkan mengobrol hal yang sama sekali tidak penting bahkan tidak berhubungan dengan pelajaran yang disampaikan. Sebagaimana telah Allah firmankan dalam Al A’raf ayat 204,وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَDan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat jugaFungsi Iman Kepada Qada dan QadarManfaat Membaca Buku Menurut IslamNasib Al Qur’an di Hari KiamatMengenang Wafatnya Pedang Allah Khalid bin WalidHukum Membatalkan Perjanjian Dalam Islam8. MenghafalSetelah berhasil memahami ilmu yang disampaikan, maka hendaknya hafal lah ilmu tersebut agar lebih mudah diingat. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,“Semoga Allah memberikan cahaya kepada wajah orang yang mendengar perkataanku, kemudian ia memahaminya, menghafalkannya, dan menyampaikannya. Banyak orang yang membawa fiqih kepada orang yang lebih faham daripadanya…” HR. At-Tirmidzi.9. MengamalkanAkan percuma setiap ilmu yang didapatkan jika tidak diamalkan. Sudah seharusnya kita mengamalkanilmu yang kita dapatkan agar mendapatkan keberkahan dari Allah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Perumpamaan seorang alim yang mengajarkan kebaikan kepada manusia, kemudian ia melupakan dirinya tidak mengamalkan ilmunya adalah seperti lampu lilin yang menerangi manusia, namun membakar dirinya sendiri.” HR Ath-Thabrani10. MendakwahkanTidak ada ilmu yang bermanfaat jika tidak dibagikan kepada orang lain. Maka sebarkanlah ilmu tersebut kepada mereka yang belum mengetahuinya. Allah Ta’ala berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” QS. At-Tahriim 6.Itulah 10 adab menuntut ilmu yang perlu diketahui. Semoga setiap ilmu yang kita dapatkan bermanfaat dan menjadi berkah bagi diri kita sendiri maupun orang lain. Aamiin.
QbShF.
  • z9de6ykynn.pages.dev/187
  • z9de6ykynn.pages.dev/77
  • z9de6ykynn.pages.dev/200
  • z9de6ykynn.pages.dev/37
  • z9de6ykynn.pages.dev/185
  • z9de6ykynn.pages.dev/164
  • z9de6ykynn.pages.dev/381
  • z9de6ykynn.pages.dev/50
  • z9de6ykynn.pages.dev/326
  • adab sebelum ilmu ilmu sebelum amal